KETAATAN AYAH SEORANG IMAM BESAR; IDRIS ABU IMAM AS-SYAFI'I
Suatu hari seorang lelaki muda
hendak berangkat mengaji, berjalan menyusuri pinggiran sungai. Tanpa sengaja
matanya tertuju pada sebuah buah delima yang hanyut. Delima itu tampak matang
dan ranum. Warna merah delima itu menggoda kerongkongan pemuda yang bernama
Idris As Syafi’i. Tanpa menunggu lama, dengan sebilah tongkat kayu sambil
menginjak tepian sungai, ia mencoba meraih delima ranum tersebut. “Hupp….”
Delima itupun sampai dalam genggaman. Dalam kondisi lapar, tanpa pikir panjang ia langsung meraup delima demi mengganjal perutnya yang keroncongan.
Delima itupun sampai dalam genggaman. Dalam kondisi lapar, tanpa pikir panjang ia langsung meraup delima demi mengganjal perutnya yang keroncongan.
Gigitan demi gigitan delima itu
dilahap nikmat. Setengah delima telah masuk ke dalam penggilingan usus, barulah
ia bertanya dengan dirinya, “Siapakah pemilik delima ini?” Aku yakin buah ini
pasti ada pemiliknya, yang kepadanya aku belum meminta ijin untuk memakannya.”
Demikian pertanyaan itu menghentikan gigitan yang masih menempel di mulut.
“Berarti pula makanan yang masuk kedalam perutku ini tidaklah halal
bagiku. Oh Tuhan….Maafkan aku.” Itulah penyesalan yang muncul di dalam
hati pemuda Idris.”
Lama dia termenung, teringat ajaran
sang guru, bahwa makanan haram yang masuk kedalam badan dan pakaian yang haram
yang menutup badan dapat menjadi suatu sebab terhambatnya doa. “Oh Tuhan,
ampunilah aku. Bagaimana caraku untuk membersihkan kesalahanku?” Itulah
penyesalan yang tiada terbilang memenuhi relung hati sang pemuda beriman,
Idris.
Setelah merenung bingung beberapa
berselang, akhirnya diperoleh cara untuk menyelesaikannya, “Aku harus mencari
pemilik delima, untuk meminta keikhlasan atasnya.” Akhirnya,pemuda IDris
menyusuri tepian sungai, berusaha mencari pemilik delima tadi. Delima yang
tinggal setengah masih pula di gengang sebagai bukti nanti kalau-kalau sang
pemilik meminta kembali.
Cukup panajang ia menyuri sungai itu
akhirnya bertemu dengan sebuah perkebunan yang ditumbuhi pohon delima.
Memanglah bahwa lokasi kebun itupun menjorok ke sungai. “Dari pohon inilah
barangkali delima yang hanyut yang kumakan tadi.” Idris terus mengamati pohon
delima yang menempel di dahan-dahan sambil mencocokannya dengan buah delima
yang ia makan. Ternyata sama persis.
Setelah ia yakin benar, lantas Idris
bertanya untuk mencari pemilik kebun. Bertemulah ia kepada sang pemilik kebun.
Tanpa gusar ia terus berkata kepada
orang asing itu, “Maaf pak, saya kesini untuk meminta keikhlasan bapak atas
kekhilafan yang telah saya lakukan.” kata Idris membuka pembicaraan.
Lelaki paruh baya yang sudah
ditumbuhi uban itu mengerutkan wajah dengan penuh heran. Pemuda asing yang
datang ini langsung mengajukan permintaan yang sangat ameh baginya. Permintaan
maaf yang diapun tak mengerti arah pembicaraan Idris.
“Apa gerangan yang membuat anda
meminta maaf dan keikhlasan, padahal kita baru saja berjumpa? Saya sangat yakin
tak ada kekeliruan diantara kita berdua.” jawab lelaki setengah baya.
“Begini pak. Dijelaskanlah semua permasalahan
yang telah menimpa dirinya dari awal hingga pertemuan mereka. Mendengar
penjelasan tersebut, lelaki paruh baya terkejut, “subhanallah”. Bibirnya sontak
berujar memuji Allah.
Beberapa saat laki-laki separuh baya
itu terdiam terhipnotis oleh akhlaq laki-laki asing yang berada di depannya.
“Baru kali ini aku melihat seorang laki-laki yang begitu bersemangat menjaga
dan mencegah diri dari dosa, padahal bisa saja ia melupakan perkara itu begitu
saja. Tapi laki-laki muda ini sangat aneh, dan jarang kutemui.” Pak Tua
membatin
Lain halnya dengan pemuda itu, Idris
justru dilanda kekhawatiran tiada terkira, jangan-jangan Pak Tua tak mau
memaafkannya, “Bagaimana, pak, bisakah aku dimaafkan, dan delima yang aku makan
diikhlaskan?”
Pak tua lantas memberi jawaban
dengan wajah yang dibuat-buat agar menimbulkan keangkeran, “Aku mau menerima
maafmu, asal kamu mau menerima persyaratanku.”
“Oh saya mau Pak, apapun persyaratan
yang bapak ajukan, aku mau melakukan, asal bapak mau mengikhlaskan, ” sambut
Idris berseri-seri, karena melihat peluang untuk dapat diampuni.
“Begini Nak, “kata Pak Tua mulai
menjelaskan serius, “Aku punya seorang anak perempuan tunggal yang tuli, bisu,
buta dan lumpuh.”
“Lantas?” tanya si Idris penasaran.
“Aku menghendakimu menjandi
menantuku, mengawini putriku. Itulah satu-satunya syarat yang kuajukan agar
delima yang telah engkau makan dapat aku ihklaskan, “jelas Pak Tua
sejelas-jelasnya.
Innalillah,” desis hati si Idris ketika mendengar penjelasan,
“Bagaimana mungkin hanya untuk mendapatkan keikhlasan sebuah delima harus aku
tebus dengan mengawini wanita cacat segalanya. Apakah cara ini cukup adil?”
Kelihatan sekali kening pemuda Idris berkerut, mempertimbangakan dan memikirkan
keputusan yang sangat berat.
Pak Tua memperlihatikan pemuda Idris
dengan seksama lantas bertanya malah terkesan setengah memaksa, “Bagaimana
Nak?” Memang itulah persyaratanku saja.”
Pemuda Idris terdiam, tampak
memikirkan dengan begitu mendalam. Sejenak kemudian ia mengangkat wajah,
mendesah berat, lantas memberikan jawaban, “Kalau memang hanya cara itu yang
bisa membuat Bapak memaafkan kesalahanku maka aku harus menyanggupinya wahai
Pak Tua.”
Mendengar jawaban Idris, lelaki
paruh baya itu tersenyum bahagia lantas bicara, “Aku ikhlas memberi ampunan,
aku harap kau ikhlas menerima persyaratan.”
“Aku ikhlas, “tukas Idris lugas,
sambil menyodorkan sebuah jabat tangan.
“Kalau begitu, sebelum aku
mengawinkanmu, kupersilakan kau melihat calon istrimu dahulu, Kata Pak Tua,
sambil mempersilakan pemuda Idris melihat calon istrinya di ruang tengah.
Pemuda Idris segera beranjak, menuju ruang yang ditunjukkan. Dengan tangan
sedikit kaku. didorongnya gagang pintu dengan hati berdebar tak menentu karena
matanya akan segera menatap calon istri yang cacat segala rupa.
“Bagaimana bentuk wanita calonku
ini, yang cacat segalanya, buta tuli, lumpuh, bisu?” Beberapa saat pintu
terbuka hampir tak berbunyi. Di lihatnya sorang wanita jelita yang tampaknya
sedanga merenda. Hanya dia dan tak ada lagi wanita lainnya. Bingung. Pintu
ditutup kembali sam apelannya ketika ia membuka lantas menemui Ayah perempuan.
“Pak, aku tak melihat orang lain di dalam sana,kecuali hanya seorang wanita
yang sedang merenda.”
Pak Tua tersenyum lantas berujar,
“Dialah calon istrimu.”
“Oh Tuhan, bagaimana bisa begitu?
Bukankah Bapak tadi menyebut calonku seorang buta tuli, lumpuh, bisu?
Sedangkan yang didalam sana seorang wanita yang sangat jelita dengan muka ranum
bak delima?” tanya pemuda Idris setengah tak percaya. Hatinya berdebar kencang.
“Bagini anakku. Dia memang buta
dalam soal melihat kemaksiatan. Dia memang tuli dalam mendengar pembicaraan
yang dapat menimbulkan murka Allah. Dia memang bisu untuk mengucapkan makian
dan lumpuh karena tidak melangkahkan kakinya ke tempat-tempat maksiat, lokasi
berkumpulnya syetan. Dia tak pernah bersentuhan dengan segala kemaksiatan,
Itulah yang kumaksud bahwa dia buta, tuli, lumpuh, bisu. Karena itulah,
tak ada pemuda yang layak menjadi suaminya kecuali orang sepertimu, yang juga
menjaga diri dari segala hal yang berkaitan dengan dosa, haram, dan
kemaksiatan.
Merekapun dinikahkan. Kebahagian
meliputi perjalanan pasangan ini mengarungi bahtera rumah tangga. Karena niatan
Lillah Billah dan Fillah, halangan demi halangan hanya Allah tempat
terbaik dalam meminta dan berlindung.
Dari pasangan suami-istri yang
terjaga dari dosa dan maksiat, haram dan kemungkaran ini, kemudian lahir
seorang anak shaleh teladan, yang bahkan dalam umur enam tahun telah hafal
Al-Quran. Dialah Muhammad bin Idris Assyafi’i yang tak lain adalah Imam
Syafi’i.
Itulah kesabaran dari ayah seorang ulama besar
sepanjang masa ini. Sang ayah begitu sabar dalam menahan dan menghindari
makanan yang haram, ibu yang selalu menjaga kehormatan dan kesuciannya maka
Allah pun mengabulkan do’a nya, menganugrahkan keduanya seorang anak yang
saleh.
Komentar
Posting Komentar