CERPEN MENARIK
TERAS Cerpen: Fandrik Ahmad & Edu Barus Shaleh Tak ada makhluk lain yang kuserapahi selain Ma’il. Muak mengenang nama lelaki pincang itu. Aku yang sejak dulu merasa selalu menjadi orang baik-baik dibuatnya menjelma seorang pemanggul dendam; mengutuk seraya hendak mencincang tubuhnya selayak penjual daging sapi kiloan di pasaran. “Katakan pada Ma’il jangan sekali-kali menindak tanah desa ini atau sampai kutemui batang hidungnya bila tak ingin kupenggal lehernya dengan celurit!” olokku pada setiap warga Pangsonok, desa kelahiran anak pengecut itu, yang kerap kujumpai di pasar Kemisan. Matahari menggantung di atas pasar semakin mengaduk tempurung kepalaku. Remeh temeh transaksi. Merah mataku karena terik itu. Terbakar serasa sekujur badan seperti kayu kering terpanggang di pembaraan. Sejak Ma’il menjadi helah, [1] ingin rasanya betapa kumis rimbunnya kujadikan sangkar burung ketitit. “Katakan pada pengecut itu, hai orang-orang Pangsonok! Kutunggu carok besok siang...