CERPEN MENARIK
TERAS
Cerpen: Fandrik Ahmad
& Edu Barus Shaleh
Tak ada makhluk lain yang kuserapahi selain Ma’il. Muak mengenang
nama lelaki pincang itu. Aku yang sejak dulu merasa selalu menjadi orang
baik-baik dibuatnya menjelma seorang pemanggul dendam; mengutuk seraya hendak
mencincang tubuhnya selayak penjual daging sapi kiloan di pasaran.
“Katakan pada Ma’il jangan sekali-kali menindak tanah desa ini atau
sampai kutemui batang hidungnya bila tak ingin kupenggal lehernya dengan
celurit!” olokku pada setiap warga Pangsonok, desa kelahiran anak pengecut itu,
yang kerap kujumpai di pasar Kemisan.
Matahari menggantung di atas pasar semakin mengaduk tempurung
kepalaku. Remeh temeh transaksi. Merah mataku karena terik itu. Terbakar serasa
sekujur badan seperti kayu kering terpanggang di pembaraan. Sejak Ma’il menjadi
helah,[1]
ingin rasanya betapa kumis rimbunnya kujadikan sangkar burung ketitit.
“Katakan pada pengecut itu, hai orang-orang Pangsonok!
Kutunggu carok besok siang di pekuburan Ki Agung Langkar! Ingat, besok tepat
siang bolong! Awas kalau tak kalian sampaikan, kalian juga akan turut menerima
amarahku!” Sengakku berkali-kali, tetapi mereka tetap merespon seperti
biasa: memandang sinis sebagai orang tak waras.
Sial! Kepalaku serasa meledak, harus mencari perteduhan. Aha,
loak penjual perkakas besi. Lumayan di sana. Kulihat-lihat ratusan celurit mana
yang kira-kira pas memenggal leher anak pengecut itu. Betapa bagus semua segala
jenis tempaan besi melengkung itu. Geramku menyengat. Ah, bayangan Ma’il
turut melengkung. Jatuhlah pilihan pada sebuah celurit paling besar, keras,
tajam dan mengkilap. Celurit takabuwan.
Lokana dheging bisa ejai’, lokana ate tada’ tambena kajabana
ngero’ dara (daging yang terluka masih bisa dijahit, tapi jika hati yang
terluka, tidak ada obatnya kecuali minum darah). Kubayangkan bidang tajam
takabuwan mengorok leher Ma’il. Mencincang-cincang tubuhnya menjadi daging
kiloan yang akan kujual eceran ke neraka.
“E..e…hus…hus. Jangan sentuh barang itu. Pergi sana. Dasar
orang gila!” Seketika si penjual merampas celurit itu. Berkali-kali tangannya
digerakkan maju-mundur.
***
Ma’il adalah orang yang kupercaya sebagai malaikat yang bisa
menolong biduk perkawinanku yang telah retak. Aku mengemis kesudiannya
mengawini Marhani, isteriku yang di luar kesadaran kumenjatuhkannya talak tiga.
Benar-benar di luar kesadaran. Aku sangat mencintai Marhani. Sumpah, karenanya,
dulu aku berani mati sekedar mengais tanda restu orangtua sampai berani
bertandang hendak meminang meski
sejelasnya jelas berulangkali ditolak mentah-mentah.
“Besar juga nyalimu, Cong! Marhani itu anakku, juragan
tembakau! Juragan tembakau! Juragan tembakau!” Geram. Melotot. “Kau orang
miskin, berandal, pengangguran. Silsilahmu juga yang tak jelas!” Nyaliku
carut-marut tertindas. Kakiku menunduk menjauhi rumah mentereng itu.
Suatu hari pada hari pasaran, Marhani tiba-tiba memanggilku dari
jauh. Aku setengah tak percaya mengajak duduk di bawah pohon ketapang. Di pinggiran
ujung-ujung jagung menguning di tegalan.
“Maaf karena sikap orangtuaku, Cak,” katanya setengah
terbata. Malu, mungkin. “Aku tahu Cacak ke rumahku. Aku senang Cacak
hendak meminangku,” Ujung sampirsarungnya dipintal-pintal. Bias matanya
menghablur pada batang dan daun jagung.
“Senang? Estoh![2]”Aku
kaget campur lega-bahagia. Tekadku tak bertepuk sebelah tangan. Kupikir ia tak
suka karena kerap mengindahkan sapaanku.”Oh, berarti kau juga
mencintaiku?!” Marhani mengangguk pelan.
Saban hari setelah itu, aku sering menemui Marhani di pasar, di
pinggir jalan, atau di tegalan. Merajut tangkai-tangkai asmara secara rahasia.
Lain itu, akal terus berjalan memikirkan bagaimana cara mendapatkannya secara
‘halal’. Betapa di desa Pangsenok keagungan norma dan adat desa tak bisa
ditolerir dengan apa pun.
Lagi. Kuberanikan diri menemui orangtua Marhani. Lagi. Selalu.
Berakhir sama. “Kacong alas, apa yang bisa kau berikan, hah? Pulang,
pulang!” Ah, aku diumpatnya lagi.
Sejurus, sisa belajar agama di pesantren berkelindan. Kawin lari!
Ya, Kawin Lari! Perbuatan demikian diperbolehkan oleh agama asalkan menempuh
jarak perjalanan jauh yang telah ditentukan. Di sana, di tempat pelarian, aku bisa
mengawininya melalui wali hakim. Ya! Wali hakim.
Berbulan-bulan aku dan kekasihku Marhani tinggal di luar pulau
kelahiran, meninggalkan Madura, menjadi perantau. Melupakan semua kerisauan,
termasuk orangtua Marhani akan anak perawan kesayangannya
yang raib karenaku. Kami menjadi sepasang suami-istri dan
menghabiskan seluruh waktu bersama di perantauan. Sampai kami memutuskan pulang
kampung, setelah berpikir matang, guna menjelaskan segala ihwal peristiwa.
Mulanya, orangtua Mrhani mendampratku dan menggunjing kepada setiap orang bahwa
diriku adalah ahli neraka. Umpatan itu kuterima adanya. Lama-kelamaan restunya
menguap meski cukup berat.
“Kau harus membangun rumah sendiri, dan membelikan istrimu perhiasan
yang banyak! Kalau gagal, kugali sendiri kuburanmu. Ingat itu, Cong!” Ancam
orangtua Marhani. Serasa kelelakianku dilecehkan. Aku tertantang. Kalaupun
tidak karena cinta, aku takkan rela dijadikan bahan umpatan dan bahan makian.
Malam larut. Suara jangkrik saling pagut. Angin berdesir di pelepah
siwalan. Aku mengiba meminta izin istriku barang satu atau dua tahun merantau
guna memenuhi persyaratan itu. Mata Marhani berkelindan haru. Separuh wajahnya
terpotong cahaya dhemar talempek.[3]
Ia terisak sedang aku mendengus.
Setahun lebih dalam perantauan, cukup ampuh menjadikan kulitku gelap
arang tempayan. Tapi aku senang. Setidaknya beberapa lembar uang berwarna merah
campur biru langit sudah cukup tebal masuk kantong. Sedikit lagi. Ya, sedikit
lagi. Oh, Bagaimanakah kekabar istriku di sana?
Kuterima sepucuk surat darinya. Terperanjatlah aku. Hamil muda
setelah kutinggal setahun lebih? Ah, rasanya tak masuk akal! Apakah ia
telah selingkuh? Berzinakah dengan lelaki lain? Keputusanku pulang kampung
disimbahi letupan amarah. Di dalam perjalanan menuju pulau Madura, mataku
selalu panas. Selalu Awas. Geraham tek berhenti beradu. Ingin rasa, sesampai di
rumah, kuceraikan Marhani. Dua tahun kutinggalkan, kenapa baru hamil muda? Aneh.
Selingkuh!
Dugaanku tak meleset! Marhani tengah bersenda-gurau dengan seorang
lelaki muda di teras depan ketika kutapakkan kaki di halaman.”Marhani…! Dasar
kau istri durhaka! Neraka!” Kalap tanpa salam. Marhani dan lelaki muda
itu terperanjat, panik dan tanya. Kuperhatikan perut istriku ternyata tak
sebuncit orang hamil.
“Cak, kau sudah pulang?” Layaknya orang yang seakan tanpa
dosa bergegas ia menghampiriku.
“Alah, Jangan memanggilku Cak lagi! Kau istri durhaka!
Kualat! Ahli neraka jahanam!”
“Kenapa kau berkata demikian, Cak?” heran.
“Istri biadab! Tega kau bermain belakang!”
“Aku tidak mengerti, Cak.”
“Alaaah… Kau berbuat selingkuh ketika aku di rantau,
bukan? Lihatlah, bersama siapa kau saat ini, hah?! Siapa lelaki itu!” Apa
peduliku Marhani terkaget atau tidak. Apa peduliku dengan suaranya tersengal
dan nyaris tak dapat berbicara karena guruhan tuduhanku. Dalam situasi semacam
ini mustahil keperempuannya melangkahi kelelakianku.
“Buu..bukan. Dia… dia… Dia keponakanku!” Marhani gugup.
“ Alah, banyak alasan! Kucerai saja kau! Talak! Talak! TALAK TIGA!”
tuntaslah apa yang hendak kupungkas. Marhani terisak dan minta ampun. Aku
tak menolehnya sedikit pun. Segera, kutinggalkan pergi. Ah, apa peduli.
***
Betapa yang bercokol di otakku ternyata tak berbanding lurus dengan
apa yang terjadi: surat yang kuterima saat di rantau adalah sepucuk surat basi
yang dikirim Marhani setahun sebelumnya, saat ia hamil muda yang kemudian
janinnya gugur. Surat itu telat datang. Dan, adalah benar lelaki muda
bersamanya bukanlah seorang selingkuhan, melainkan keponakan jauhnya sendiri
yang kebetulan sedang bertamu, yang tak kuingat sama sekali. Sesal dan kesal
merajam. Semua jadi berantakan!
Kutemui kiaiku sewaktu dulu guna meminta solusi. Beliau menyarankan
harus ada pernikahan helah setelah masa ‘iddah.[4]
Helah adalah seorang lelaki perantara yang dapat menghalalkan kembali
rujukan orang yang sudah ditalak tiga. Ia harus menikahi perempuan yang ditalak
tiga itu kemudian harus wathi’.[5]
Setelah itu, sesudah helah menceraikannya, lelaki yang pernah
menjatuhkan talak tiga boleh
rujuk kembali.
Seperti sebuah pelor lepas, jawaban itu merajam jantung. Sakit.
Perih. Tak mungkin perempuan yang kucintai dihadiahkan secara cuma-cuma kepada
lelaki lain, terlebih dalam pernikahan. Suka tidak suka jalan ini harus
kutempuh jika ingin bergaul lagi dengan istriku.
Aku mencari seorang lelaki yang kira-kira tak mungkin dicintai
sesiapa saja, termasuk Marhani. Kupilih lelaki paling jelek, dan kalau bisa
cacat. Sampai kutemukan Ma’il, anak muda desa Pangsonok bertubuh dekil,
kerempeng, dan pincang. Kupinta ia menjadi helah dengan iming-iming
seekor sapi jantan. Ia mau bersepakat, bersegera menceraikan setelah mewathi’
istriku.
“Ingat, kau cuma helah, hanya perantara!” ancamku.
Lumayan bisa tenang, walau sebetulnya begitu terpukul dan hasut
kepada Ma’il manakala menyatakan ijab-kabul kepada modin di depan kelopak
mataku sendiri. Lebih-lebih ketika kuintip malam pertamanya melalui celah-celah
tabing.[6]
Kusaksikan Ma’il menyantap tubuh istriku. Ma’il mengecup bibirnya, dagunya, dan
seterusnya…
Ah, tak tahan! Kesabaran ambruk. Cemburu meletup.
“Dasar pincang! Bajingan kau Ma’il!” Kulabrak pintu kamar,
mengobrak-abrik malam pertama mereka. Marhani dan Ma’il yang cuma bertabirkan
seutas selimut mendadak terperangah.
“Patek! Bajingan kau!” umpatku. Kugampar sepotong kayu
seadanya ke arah kepala Ma’il. Rupanya ia cukup gesit berlari,
terpincang-pincang ke luar kamar dengan sehelai sampirsarung.
Kupandangi Marhani. Melongo. Tak percaya.
“Pernikahan ini kehendakmu! Kenapa kau lakukan ini?! Apa sebenarnya
yang kau inginkan?”
“Rujuk.”
“Tapi kau buat penikahan ini berantakan!”
“Aku cemburu!”
“Tak bisa kau merujukku tanpa perantara Ma’il!”
“Ah, persetan itu agama!”
“Bajingan kau!” umpatan yang pertama kali kudengar seumur hidup dari
perempuan yang kugandrungi.
“Aku cemburu, Marhani…! Si pincang mau mencumbui istriku di mataku.”
“Istrimu? Siapa? Aku? Bukankah kau telah mentalak tiga? Aku sekarang
bukan istrimu lagi. Istri Ma’il. Aku kini istri Ma’il, bukan istri lelaki
biadab macam dirimu!” Kutampar keras pipinya. Tubuhku gemetar dalam penyesalan,
tapi egoku tak sudi minta maaf. Kutinggalkan saja dirinya, mengejar si pincang.
Berwaktu-waktu, berhari-hari, berbulan-bulan kuhabiskan memburu
jejak Ma’il yang kurang ajar membawa kabur Marhani. Perbincangan orang-orang di
pasar, muak kutelan: Ma’il dan Marhani, berdua lebih akur ketimbang denganku.
Jelaslah tersinggung. Ma’il tetaplah si pincang pengecut yang lari dengan
perempuan kualat. Maka, kerap kali kujumpai orang-orang Pangsonok, tentulah aku
menitipkan salam padanya.[]
Bilapora-Annuqayah-Jember,
2013
Fandrik Ahmad, nama pena
dari Fandrik HS Putra, lahir di Jember, 29 Juli 1990. Pekerjaannya
sebagai Direktur Pojok Sastra Annuqayah. Karya-karyanya pernah dimuat di
pelbaga surat kabar, antara lain: Majalah Kuntum, Majalah Sabili, Radar
Madura, Radar Jember, Radar Surabaya, Minggu Pagi, Bangka Pos, Annida, Sumut
Post, Sumatera Ekpress, Jurnal Medan, Suara Pembaruan, Lampung Post, Merapi,
Tribun Jabar, Suara Merdeka, Tabloid Nova, Jurnal Nasional dan Jawa Pos.
Antologi Cerpen Panggil Aku Haura (CMA: 2012). Telp: 082 331 021 747
[1] Helah, bahasa lisan orang Madura, berasal dari bahasa
Arab “Muhallil”, yakni orang yang menghalalkan pernikahan kembali bagi
orang yang menjatuhkan talak tiga. Keterangan lebih lanjut bisa dilihat di
buku/kitab hukum Islam.
[2]
Artinya: sungguh/kasih sayang/setia/cinta.
[3]
Lampu berbahan bakar minyak tanah, terbuat dari kaleng bekas
[4]
Masa penungguan perempuan setelah ditalak
[5]
Melakukan persetubuhan
[6]
Anyaman dari bambu yang dibuat sebagai dinding rumah
Komentar
Posting Komentar